Wednesday, May 16, 2007

Kenaikan Isa Almasih dan Hubungan Gereja-Negara

Rabu, 16 Mei 2007Hari Kamis, 17 Mei 2007, umat Kristiani seluruh dunia memperingati hari Kenaikan Yesus Kristus ke surga, suatu peristiwa religius yang terjadi 40 hari setelah kebangkitan-Nya di antara orang mati. Sebelum terangkat, Yesus Kristus memerintahkan murid-murid-Nya untuk menjadi saksi-Nya, yakni menyaksikan kasih, kebenaran dan teladan-Nya ke seluruh dunia (Kisah Para Rasul 1:6-8).

Murid Yesus diperintahkan untuk menjadi saksi kebenaran-dalam konteks berbangsa dan bernegara-di mana pun mereka berada. Karena itu terlihat adanya hubungan antara gereja dan negara.

Sepanjang sejarah gereja, setidaknya ada dua model relasi gereja dan negara. Di abad pertengahan, pemimpin gereja menempatkan dirinya untuk berkuasa penuh atas pemimpin negara. Sebab baginya ia berada pada "below God, above man; less than God, more than man." (Philip Schaff, 1858-92)

Akar dari pengertian itu adalah dualisme tingkatan kehidupan yang sifatnya hirarkis. Yaitu tingkatan spiritual yang ditempati kaum rohaniawan dan tingkatan temporal yang ditempati kaum profesional sekuler, di mana yang pertama lebih tinggi dari yang kedua.
Kondisi sebaliknya terjadi pada abad pertengahan, di mana negara berkuasa penuh atas gereja. Posisi itu merupakan reaksi berlebihan atas posisi yang dianut abad pertengahan.

Di luar gereja, Niccolo Machiavelli (1469-1527) adalah penganjur utama doktrin itu. Ia menegaskan bahwa tidak seharusnya negara dikuasai oleh agama. Seharusnya negara menguasai agama.

Pandangan tersebut didasarkan pada paradigma agama sebagai sesuatu yang lebih bersifat sekuler. Dengan kata lain, Machiavelli melakukan desakralisasi agama. Dengan adanya paradigma agama seperti itu, maka agama sudah disempitkan hanya urusan moral dan menjadi salah satu pranata kebudayaan di antara banyak pranata lainnya.

Sebaliknya, Machiavelli menawarkan suatu bentuk pemerintahan yang kuat, mengatasi segala unsur di dalamnya termasuk agama. Pemerintahan yang kuat itu didasarkan atas antropologi bahwa manusia adalah makhluk irrasional yang tingkah lakunya diombang-ambingkan oleh emosinya (F Budi Hardiman, 2004).

Meski tidak seekstrem Machiavelli, Martin Luther (1483-1546) dan pengikutnya juga mengambil sikap yang sama. Pada awalnya, Luther mengemukakan ajaran tentang imamat. Hal itu merupakan perlawanan terhadap ajaran dua tingkatan dalam kehidupan manusia yang dianut selama abad pertengahan. Bagi Luther, semua orang yang percaya mempunyai status keimaman yang sama sekalipun berbeda dalam fungsi.

Berdasarkan perbedaan fungsi itu, maka Luther mengembangkan konsep "Dua Kerajaan", yang menandakan perbedaan fungsi antara pemerintahan spiritual dan pemerintahan sipil. Pemerintahan spiritual dijalankan teokratif, berdasarkan firman Tuhan dan tuntunan Roh Kudus serta menggunakan pendekatan persuasif.

Sementara pemerintahan sipil dijalankan oleh pemerintah berdasarkan hukum negara dan memperoleh otoritas untuk menggunakan pendekatan koersif. Pandangan Luther yang demikian bagus tapi tidak dipegang secara konsisten, sehingga terjadi pergeseran dan menempatkan negara sebagai subordinasi dari gereja.

Pergeseran itu disebabkan dua hal, antara lain, selama perjuangan Luther, ia berhutang budi amat besar kepada pejabat politik dalam memberikan ragam dukungan, baik finansial maupun politis.

Tidak heran, gereja Lutheran di Jerman gagal menghadapi kekejaman Adolf Hitler pada 1930-an. Bagi Alister McGrath, kegagalan itu disebabkan insufficiency in Luther's theology (2002). Dengan demikian, jika Machiavelli mendorong negara untuk secara koersif menguasai gereja, Luther mendorong gereja untuk secara persuasif tunduk kepada negara.

Rekonstruksi model relasi gereja-negara yang diamanatkan Alkitab merupakan sikap "neither-nor" terhadap kedua model relasi di atas, baik negara menjadi subordinasi gereja maupun sebaliknya. Pandangan Alkitab, negara mendapat otoritas dari Allah secara langsung dan bukan dari gereja, sehingga gereja tidak berhak mengintervensi secara penuh setiap kebijakan negara.
Selain itu, jika kekuasaan pemimpin gereja abad pertengahan begitu besar-kalau tidak mau dikatakan mutlak- sampai mengintervensi seluruh aspek kehidupan, bukankah hal itu merupakan sebuah monarki tersendiri? Jelas sekali bila Alkitab sangat menentang kerajaan manusia yang monarkis.

Lebih mendalam lagi, ajaran dualisme tingkat kehidupan pada abad pertengahan ditolak oleh Alkitab dengan pemahaman bahwa semua manusia diciptakan setara sebagai citra Allah.
Alkitab juga menolak pengajaran Machiavelli yang jelas mendukung monarki, sebab amat besar berpotensi menjadi korup seperti adagium terkenal dari Lord Acton, power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely. Kalimat Acton itu berasumsi, keberdosaan manusia dapat menyalahgunakan kekuasaan.

Fakta keberdosaan manusia itulah yang menjadi landasan untuk menolak adanya monarki dan perlunya kepemimpinan terbuka dan kolektif.

Konsep "dua pemerintahan" yang diajarkan Luther adalah pemerintahan sipil dan pemerintahan spiritual. Bagi teolog Swiss, John Calvin (1509-1564), hubungan keduanya adalah distinct (but) they are not at variance (1559) atau dengan kata lain bersifat distinctio sed non separatio (Alister McGrath, 2002).

Karena perbedaan itu tak harus membuat salah satunya hilang, maka dapat dikatakan bahwa hubungan gereja-negara bersifat sejajar dan komplementer. Hal itu disebabkan karena secara mendasar, kedua institusi, gereja dan negara berasal dari penetapan Tuhan, sehingga keduanya berposisi sejajar. Calvin malah menyebut pemerintah sipil sebagai "wakil Allah" (1559).
Sedangkan hubungan komplementer, artinya gereja-negara saling melengkapi. Gereja bertugas menyampaikan berkat yang immortal and incorruptible, sementara negara bertugas menjamin dan melindungi kebebasan beragama agar ibadah kepada Allah dapat berjalan lancar dan tertib.***

Posted via http://www.suarakarya-online.com/news.html?category_name=Opini
by Antonius S. Un (My genius brother that have servant heart)

Wednesday, May 2, 2007

Dosa dan Pelayanan

Dosa dan Pelayanan

Semakin lama melayani, semakin saya menemukan betapa kegelapan dosa melingkupi hati manusia. Bukan saja melingkupi hati mereka yang belum percaya, tetapi juga mereka yang sudah percaya. Bukan saja jemaat, tetapi juga mereka yang aktif melayani, para pemimpin gereja seperti majelis dan bahkan para ‘hamba Tuhan’ yang memiliki posisi sebagai pengajar Firman Tuhan.

Di dalam kesedihan, kadang-kadang saya bertanya sendiri bagaimana gereja bisa bertahan dengan orang-orang seperti itu? Bagaimana gereja tetap bisa bertumbuh dan ada orang-orang yang menerima berkat Tuhan, sekalipun kondisi para pelayan dan pemimpinnya seperti demikian?Waktu merenungkan hal tersebut, ada beberapa hal yang muncul dalam pikiran saya:Pertama, mungkin saya memandang dengan terlalu negatif.

Mungkin betul bahwa hati para pelayan dan pemimpin gereja itu masih banyak dilingkupi kegelapan. Tetapi kalau mereka adalah orang percaya, bagaimanapun mereka bukan lagi anak-anak kegelapan tetapi anak-anak terang yang sedang terus dibentuk oleh Tuhan. Sehingga sekalipun ada bagian-bagian dalam hati mereka yang masih ‘gelap’, tetap ada anugrah Tuhan yang sedang bekerja dalam diri mereka, tetap ada bagian-bagian yang baik yang sudah dikerjakan oleh Tuhan.

Tetapi di dalam kepicikan saya, bagian-bagian yang baik itu tidak terlihat lagi oleh saya.Kedua, Tuhan bisa memakai siapa saja untuk gerejaNya. Jangankan anak-anakNya yang ‘bandel’, Firaun yang tidak mengenal Tuhan pun bisa dipakai. Maka sekalipun para pemimpin gereja dan para hamba Tuhan itu tidak percaya Tuhan, dan itu sangat mengerikan, tetapi Tuhan tetap bisa memakai mereka untuk gerejaNya.

Ketiga, saya mengingat kalimat Paulus “jika pelayanan itu datang dengan kemuliaan yang demikian betapa lebih besarnya lagi kemuliaan yang menyertai pelayanan Roh! Jika pelayanan yang memimpin kepada penghukuman itu mulia, betapa lebih mulianya lagi pelayanan yang memimpin kepada pembenaran” (2 Kor 3:7-9). Di situ Paulus memang sedang menjelaskan perbedaan pelayanan dalam Perjanjian Lama yang hanya berupa hukum tertulis dengan pelayanan dalam Perjanjian Baru yang dikerjakan dengan kuasa Roh.

Saya tergoda untuk menganalogikan kalimat itu dengan pelayanan dalam gereja. Kalau pelayanan yang dilakukan dengan sembarangan dan dengan hati yang jahat diberkati oleh Tuhan, betapa lebihnya lagi pelayanan yang dilakukan dengan murni oleh orang-orang yang sungguh mencintai Tuhan! Walaupun ini tidak selalu berarti jumlah orang yang lebih banyak, tetapi pasti berarti berkat rohani yang lebih besar.Terakhir, makin saya merenungkan betapa sulitnya manusia memberikan hati sepenuhnya diterangi oleh Tuhan, makin saya melihat demikian pula diri saya.

Kalau melihat kegelapan dalam hati orang lain seringkali mendukakan hati saya, maka lebih mendukakan lagi ketika melihat kegelapan itu dalam hati saya sendiri. Dan saya jadi berpikir bagaimana hati Tuhan? Betapa berdukanya Dia melihat pelayan-pelayanNya seperti ini.Ah Tuhan, kasihani gerejaMu dan kasihani orang-orang yang menyebut diri pelayanMu!

posted by Jeffrey Siauw @ 9:04 AM
Taken from Jeffrey Siauw's blog
http://jeffreysiauw.blogspot.com/

Gift of Stress

Gift of Stress
Jeffrey Lim

Mungkin judul yang saya berikan untuk artikel ini agak aneh. Koq stress di bilang gift. Tetapi saya menemukan pengertian ini setelah merenung merefleksi dan meditasi Saya pernah mendengar bahwa rasa sakit adalah kasih karunia menurut Philip Yancey dan menurut Kieggegard, rasa putus asa adalah pemberian ( Gift ), menurut seorang penulis yang lain ada Gift of pain. Hasil merenung dan merefleksi akhirnya saya mendapatkan pengertian bahwa stress yang dialami manusia juga dapat merupakan satu gift yang membawa kepada iman dan perjuangan.

Pertama, saya ingin meletakkan dasar teologis di dalam Roma 8:28 bahwa segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Tuhan. Ini berarti bahwa segala sesuatu pada akhirnya mendatangkan kebaikan bagi orang yang cinta Tuhan. Baik itu merupakan sakit penyakit, stress, ataupun pergumulan-pergumulan hidup yang sulit. Bagaimana dengan dosa ? Walaupun pergumulan manusia dengan dosa dapat Tuhan dengan cara yang ajaib digunakan mendatangkan kebaikan, ini bukan berarti kita memandang dosa sebagai gift ( ini jelas salah ) ataupun memandang dan membuat alasan bagi dosa-dosa pribadi bahwa Tuhan akan mendatangkan kebaikan.

Jadi pertama kita jelaskan bahwa segala sesuatu yang negatif dapat mendatangkan kebaikan bagi kita. Ini adalah cara Tuhan yang ajaib. Dan dalam kasus ini stress adalah salah satu pergumulan manusia di dalam pikiran dan emosi yang negatif. Dan saya percaya stress ini dapat membawa kebaikan.

Kedua, saya kembali ingin kita merenungkan bahwa kitab Yakobus mengajarkan bahwa berbahagia bila kita jatuh ke dalam berbagai macam pencobaan supaya membuktikan kemurnian iman. Di dalam hal ini bukan berarti pencobaan itu baik. Pencobaan itu berusaha untuk merusakkan. Pencobaan adalah negatif. Pencobaan membawa kepada dosa. Tetapi anehnya Yakobus mengajarkan bahwa berbahagialah orang yang bergumul dengan pencobaan. Berbahagialah adalah diberkatilah. Dari perpektif ini kita bisa melihat bahwa hal yang negatif dapat menjadi positif. Karena bagi orang percaya yang bergumul dengan pencobaan maka ada kesempatan untuk mengalahkan pencobaan.

Ketiga, saya mengambil dari banyak contoh pergumulan orang-orang beriman bahwa mereka mendapatkan kekuatan di dalam kelemahan. Banyak orang-orang yang beriman yang banyak bergumul dengan stress, dengan depresi, dengan pergumulan hidup yang berat, dengan penyakit, dengan dosa tetapi mereka menghasilkan banyak mutiara iman yang dituliskan baik di dalam mazmur maupun kitab-kitab yang lain. Daud hidupnya banyak mengalami pergumulan tetapi dia banyak menghasilkan Mazmur yang tidak usah kita sangkal lagi sangat memberikan berkat.

Keempat, saya mengingat perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong bahwa yang banyak meneteskan air mata akhirnya akan menjadi mata air. Saya merenungkan hal ini mengapa ? Akhirnya saya menemukan jawabannya yaitu orang yang bergumul banyak dengan pergumulan hidup bila dia mencari Tuhan maka dia akan merenungkan Firman Tuhan. Dan bila kita merenungkan Firman Tuhan maka kita akan berbuah. Dari hati akan mengalir aliran-aliran hidup. Kunci hidup berlimpahan saya percaya adalah melalui penderitaan.

Kelima, saya merenungkan bahwa orang yang pernah melewati bayang-bayang maut akan mengalami kelimpahan hidup yang lebih. Pemazmur mengatakan bahwa Tuhan adalah gembalaku, aku tidak kekurangan. Disini pemazmur mengalami kelimpahan hidup dan kecukupan dan Tuhan Allah Yehovah memelihara hidup pemazmur. Tetapi setelah ayat walaupun aku berjalan di lembah bayang-bayang maut aku tidak takut bahaya sebab Tuhan besertaku maka ayat selanjutnya adalah Engkau mengurapi kepalaku. Pialaku melimpah. Kebajikan dan kemurahan akan mengikuti aku seumur hidupku dan aku akan tinggal di dalam rumah Tuhan sepanjang masa. Dari kelimpahan awal sampai kelimpahan setelah melewati lembah bayang-bayang maut maka pemazmur mengalami pengalaman yang lebih limpah. Ini adalah pelajaran hidup bahwa orang yang pernah mengalami kegelapan mungkin paling melihat terang dengan jelas.

Keenam, orang yang mengalami penderitaan yang banyak adalah orang yang menerima penghiburan yang banyak. Ini sesuai dengan ajaran Alkitab. Orang yang banyak mengalami pergumulan hidup dia sendiri mengalami penghiburan yang banyak. Dan dia akan menjadi penghiburan bagi banyak orang.

Ketujuh, kebanggaan di dalam hidup adalah penderitaan menurut Mazmur 90. Orang yang pernah mengalami penderitaan akan lebih matang secara umumnya.

Tetapi kiranya renungan harian singkat ini boleh menyegarkan pandangan kita terhadap satu realita hidup yaitu stress. Sebelumnya saya simpulkan bahwa stress adalah gift karena :
- Membawa kita bergumul dengan Firman
- Membawa kita dekat dengan Tuhan
- Membawa kita berserah kepada Tuhan
- Membawa kita menerima penghiburan dari Tuhan
- Membawa kita berjuang
- Membuat kita mengerti kesusahan orang lain
- Dsb

Dari stress kita datang kepada Tuhan Yesus Kristus. Yesus Kristus mengatakan Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

Ev. Jeffrey Lim
limpingen@gmail.com
Guang Zhou, 25 April 2007


Soli Deo Gloria

Jeffrey Lim
Blog : http://limpingen.blogspot.com