Monday, April 16, 2007

Sikap Presiden dalam Kasus IPDN, Mendadak Tegas

Telah dimuat pada Harian Sinar Harapan, 13 April 2007


Sikap Presiden dalam Kasus IPDN, Mendadak Tegas
Oleh Victor Silaen

Selama lebih dari dua tahun menjadi orang nomor satu di negara ini, rasanya baru dalam kasus tewasnya praja IPDN Cliff Muntu, 3 April lalu, rakyat menyaksikan Presiden Yudhoyono bicara tegas secara terbuka. Usai acara "Doa Bersama bagi Keselamatan Bangsa" di Masjid Istiqlal, Jakarta, 8 April lalu, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa Pemerintah akan melakukan reformasi secara fundamental terhadap IPDN. Bahkan keesokan harinya, Yudhoyono sendiri yang mengumumkan "Enam Instruksi Pemerintah" untuk IPDN kepada pers, usai menerima Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi di Kantor Presiden, Jakarta. Padahal saat itu ada Mendagri Ad Interim Widodo AS, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi, Mendiknas Bambang Sudibyo, dan Kapolri Jenderal Pol Sutanto yang ikut mendampinginya.

Enam poin kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan lembaga pendidikan dan tetap memenuhi cita-cita putra-putri bangsa yang ingin mengenyam pendidikan tinggi itu dibuat setelah Yudhoyono mendengarkan laporan dari berbagai pihak. Cepat dan tegas, itulah hal yang penting sekaligus menarik dari sikap Yudhoyono dalam konteks ini. Bahwa keenam poin kebijakan itu juga tepat, kita tunggu dan lihat saja nanti.

Boleh dibilang, apa yang diperlihatkan Presiden Yudhoyono terkait kasus tewasnya Cliff Muntu ini agak mengejutkan, tapi sekaligus menggembirakan. Mengejutkan, sebab Yudhoyono memerlukan dirinya sendirilah yang secara langsung menyampaikan rencana pemerintah untuk mereformasi lembaga pendidikan pencetak calon birokrat itu. Padahal, tugas itu bisa didelegasikan kepada Jurubicara Kepresidenan Andi Malarangeng -- seperti biasanya. Hal lain yang tak kalah mengejutkannya, mengapa persoalan "kecil" seperti itu langsung mendapat perhatiannya? Disebut "kecil" (dengan tanda petik), karena bukankah ada Menteri Dalam Negeri ad interim Widodo AS, yang notabene departemennya membawahi langsung pengelolaan IPDN itu? Lagi pula, bukankah Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sudah meresponi insiden kekerasan yang menewaskan praja Cliff Muntu itu dengan meninjau langsung ke kampus IPDN di Sumedang, Jawa Barat, sehari sebelum Yudhoyono bicara usai acara Doa Bersama itu?

Inilah yang mengejutkan, bahwa Yudhoyono ngotot melibatkan dirinya di dalam persoalan ini, meskipun para pembantunya di kabinet sedang bekerja untuk itu. Tapi, ini sekaligus menggembirakan. Karena, sosok pemimpin yang berani dan tegas seperti itulah yang didamba rakyat setelah sekian lama mengalami kelelahan mental akibat derita nestapa yang datang silih berganti sementara banyak pemimpin yang hidupnya enak-enakan. Pertanyaannya, mengapa sikap tegas dan berani seperti itu tidak diperlihatkan Yudhoyono dalam kasus atau persoalan lainnya? Sebutlah kasus Munir yang sudah sekian lama terkatung-katung sehingga menarik perhatian beberapa negara sahabat, termasuk PBB yang melalui Special Rapporteur on Extra Judicial Execution Prof Philips Alston telah meminta Pemerintah RI agar mengusut tuntas kasus terbunuhnya pejuang HAM itu. Jika permintaan itu tidak diresponi, bukankah akan berdampak buruk bagi citra dan kiprah Indonesia dalam diplomasi internasional?

Bagaimana pula dengan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang juga telah sekian lama mengalami proses "politik pingpong" di DPR? Terkait dengan kasus-kasus sejenis, mengapa pula Yudhoyono tak kunjung membentuk lembaga KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) hingga akhirnya UU KKR (UU No. 27/2004) itu sendiri dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi? Padahal, selain sudah menjanjikan pembentukan KKR kepada publik, ia juga sudah menetapkan panitia penyeleksi para calon anggota lembaga itu -- dan proses seleksi para calon anggota lembaga itu pun tinggal menunggu tahap akhir saja. Mengapa ia tak berkomentar sedikit pun ketika UU KKR itu dibatalkan pada 7 Desember lalu?

Hingga kini, Indonesia masih punya setumpuk kasus atau persoalan, yang semuanya membutuhkan ketegasan dan keberanian presiden demi menyelesasikan atau mencari solusinya. Di kabinet saja setidaknya kini ada dua menteri yang "bermasalah" (Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra), namun belum pernah dikomentari Yudhoyono secara terbuka. Padahal, tercium aroma korupsi di balik permasalahan yang melibatkan kedua pembantu presiden itu. Bukankah sekaitan masalah korupsi, Yudhoyono pernah berkomitmen untuk "memimpin di garda depan" dalam upaya memeranginya?

Di tengah kekacauan dan kerancuan sistem politik dewasa ini, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang tegas dan kuat serta mampu memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Kalau hal itu tidak terwujud, situasi tak menentu seperti sekarang ini akan terus berlanjut sampai 2009. Demikian dikatakan anggota DPR yang baru-baru ini meraih gelar doktor dalam bidang hukum tata-negara, Dr. Aulia Rachman (Sinar Harapan, 4 April 2007).

Sebagai presiden yang berasal dari partai kecil (Partai Demokrat), posisi Yudhoyono memang kerap dilematis di antara sistem presidensial (secara teoritis) dan sistem parlementer (secara praktis) yang melandasi berjalannya proses politik penyelenggaraan negara ini. Dikarenakan hal itulah ia harus selalu menghiraukan kepentingan partai-partai lain yang ada di DPR, terkait dengan pelbagai kebijakan politik yang akan dibuat maupun dilaksanakannya. Namun, ia mestinya sadar betul bahwa legitimasinya sebagai orang nomor satu di negara ini bukanlah berasal dari partai-partai, melainkan dari rakyat - yang jumlahnya lebih dari 60% dari total pemilih dalam Pilpres 2004 lalu.

Itulah modal politik penting Yudhoyono, yang tak dapat dipungkiri bahwa di mata rakyat, modal itu telah semakin berkurang dari tahun ke tahun. Penyebabnya, antara lain, karena sikapnya sebagai presiden selama ini tidak cukup memperlihatkan ketegasan dan keberanian. Ia memang berbeda dengan Franklin Delano Roosevelt (FDR), Presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-33 (1933-1945), yang mengawali kepemimpinannya dengan modal kepercayaan rakyat di tengah depresi besar yang melanda AS saat itu.

Apa gerangan rahasia sukses FDR, presiden empat periode berturut-turut yang secara fisik sebenarnya lemah karena kecacatan kakinya itu? Yang utama, FDR adalah tipikal pemimpin yang tak mau membuang-buang waktu dengan terlalu menghiraukan kemauan Kongres. Saat itu, menurut dia, negara sedang dalam keadaan darurat. Karena itu, ia harus bertindak tegas dan cepat. Dan benarlah, usai dilantik ia segera memerintahkan anggota kabinetnya untuk menyusun rencana kerja. Keesokan harinya ia meminta Kongres untuk segera melaksanakan sidang darurat khusus untuk membahas masalah perbankan. Pendeknya, langkah-langkah reformasi total di berbagai bidang dengan cepatnya ia lakukan. Hasilnya, hanya dalam waktu beberapa tahun, AS mampu memulihkan kondisi dalam negerinya yang krisis. Tak heran jika seluruh rakyat percaya kepada FDR, sehingga menginginkan dirinya menjadi presiden terus-menerus (tahun 1945, di tengah periodenya yang ke-4, kepemimpinan FDR berakhir karena ia meninggal).

Jika Yudhoyono dibandingkan dengan Presiden AS saat ini, George Walker Bush, mungkin justru lebih mirip. Karena, Bush adalah "the accidental president", yang kemenangannya pada pemilihan presiden tahun 2000 lalu sangat kontroversial karena kalah dalam popular vote. Kendati begitu, Bush berani menggulirkan sejumlah agenda domestik dan internasional yang bersifat radikal. Meski kepemimpinan Bush cenderung militeristik, toh rakyat AS menyukainya sehingga ia terpilih kembali untuk periode keduanya (2004-2008). Bagaimana dengan Yudhoyono? Akankah ketegasannya dalam menyikapi kasus Cliff Muntu juga konsisten di masa-masa mendatang?

* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.

No comments: